Sabtu, 09 Februari 2008

Artikel Pendidikan


(Tulisan ini telah dimuat di Jawa Pos, Selasa (5/2/2008)

Melatih Social Skill Siswa

Oleh M. Anshor Sja’roni
“Satu hal yang harus selalu diingat, bahwa dengan membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan sosial (social skill) berarti guru telah membantu mereka dalam menemukan dirinya sendiri sehingga mampu berperilaku sesuai norma yang berlaku di masyarakat.”

Sebagai makhluk sosial, seseorang dituntut mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku. Karenanya, orang dituntut menguasai keterampilan sosialnya (social skill). Keterampilan tersebut biasanya disebut sebagai aspek psikososial. Keterampilan itu harus mulai dikembangkan sejak seseorang masih anak-anak. Lalu, apa yang dimaksud keterampilan sosial ? Bagaimana keterampilan itu mesti dikembangkan di sekolah? Mengapa keterampilan ini makin penting pada anak yang menginjak remaja?
Keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri menjadi makin penting ketika anak sudah menginjak masa remaja. Hal ini disebabkan pada masa remaja individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas di mana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan. Kegagalan remaja dalam menguasai keterampilan sosial akan menyebabkan dia sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku yang kurang normatif, dan bahkan dalam perkembangan yang lebih ekstrem bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, sampai tindakan kekerasan.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka amatlah penting bagi remaja untuk dapat mengembangkan keterampilan sosial dan kemampuan untuk menyesuaikan diri. Permasalahannya, bagaimana cara melakukan hal tersebut di kelas dan aspek-aspek apa saja yang harus diperhatikan?
Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja - dalam fase perkembangan masa remaja madya dan remaja akhir - adalah memiliki keterampilan sosial untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Keterampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima kritik, keterampilan memimpin, musyawarah, pengelolaan konflik, mempercayai orang lain, berbagi dalam tugas, memunculkan partisipasi, menghormati adanya perbedaan, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dan sebagainya. Jika keterampilan sosial dapat dikuasai oleh remaja pada fase tersebut, maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Untuk menciptakan suasana kehidupan sosial nyata di kelas, hal yang harus diperhatikan guru di dalam strategi pembelajaran adalah faktor keberagaman siswa. Keberagaman siswa dengan latar belakang sosial historis, derajat potensi, kecepatan belajar, dan potensi kecerdasan majemuk tidak dapat dinafikan begitu saja. Kondisi siswa yang heterogen bukan sebuah faktor negatif tetapi menjadi faktor positif di mana masing-masing siswa dapat saling menunjang dan melengkapi dalam proses pembelajaran yang saling mencerdaskan dan memaksimalkan pembelajaran dalam mencapai tujuan belajar.
Kondisi siswa yang beragam adalah sebuah keniscayaan. Hal ini sama dan sebangun dengan kondisi sosial masyarakat. Keniscayaan ini seringkali diabaikan oleh guru. Ditambah lagi sistem penyelenggaraan pendidikan yang menyita banyak waktu di sekolah, semakin mengurangi intensitas interaksi siswa dengan orang tua dan interaksi antara siswa dengan dunia sosial nyata. Apalagi dalam masyarakat yang berubah sangat cepat sekarang ini, banyak siswa kehilangan hubungan dekat dan stabil dengan orang yang sayang dan peduli. Tanpa dukungan dari keluarga yang rukun, banyak siswa membawa rasa ketidakpuasan ke sekolah. Sementara itu, tuntutan dari masyarakat yang dutujukan kepada sekolah (siswa harus lulus UNAS seratus persen dengan nilai tinggi) akan mengabaikan kebutuhan sosial dan emosional siswa. Ketika pencapaian dan target kompetitif sekolah di tengah masyarakat menjadi fokus utama, siswa terisolasi dan kebutuhan afeksi serta sosial siswa menjadi terabaikan.
Pembelajaran Berbasis Kelompok
Dalam pembelajaran berbasis kelompok terdapat unsur latihan keterampilan sosial. Keterampilan sosial tidak dapat dicapai dengan hanya meminta siswa untuk bekerja sama. Siswa harus dilatih dengan sengaja. Keterampilan sosial diajarkan bersama-sama dalam pembelajaran berbasis kelompok. Keterampilan sosial dirumuskan dalam tujuan pembelajaran sebagai bentuk latihan yang disengaja dan dirancang bersamaan dengan tujuan akademik.
Beberapa komponen yang harus ada dalam melatih keterampilan sosial siswa adalah adanya saling ketergantungan positif, adanya akuntabilitas individual, heterogenitas anggota, adanya pimpinan kelompok, dan adanya pengajaran langsung tentang kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan pengelolaan konflik.
Dalam pembelajaran berbasis kelompok, peran guru tidak lagi dominan. Guru bukan satu-satunya sumber informasi pengetahuan bagi siswa. Di samping guru, siswa dapat menggali informasi pengetahuan dari sesama siswa dalam kelompok belajar. Sementara itu, masing-masing siswa dalam kelompok dapat menggali informasi dari berbagai sumber (perpustakaan, koran, televisi, internet, orang tua, atau dari orang yang mempunyai kompetensi dan keahlian tertentu) yang nantinya informasi itu dibagi dengan siswa lain dalam kelompok belajar.
Beberapa peran guru dalam melatih keterampilan sosial siswa yaitu : merumuskan tujuan pembelajaran dan keterampilan sosial, menentukan kriteria dan jumlah anggota kelompok belajar, merancang kerja sama antarkelompok, menjelaskan kriteria perilaku dan keberhasilan siswa, serta memantau dan menilai kualitas pekerjaan siswa.
Kegiatan awal setelah terbentuknya kelompok belajar adalah membentuk pengurus kelompok yang terdiri dari ketua dan sekretaris. Pembentukan ini dimaksudkan agar setiap kelompok mempunyai tanggung jawab terhadap tugas-tugas dari guru serta melatih nilai kepemimpinan siswa. Proses pemilihan pengurus kelompok dilakukan secara demokratis.
Selanjutnya setiap kelompok membuat aturan-aturan dalam kelompoknya, dalam hal kewajiban dan hak serta tanggung jawab anggota dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Proses pembuatan aturan dan norma kelompok dilakukan dengan cara berdiskusi. Setelah menghasilkan aturan kelompok, masing-masing kelompok mempresentasikan aturan yang telah dibuat untuk diketahui oleh guru dan kelompok lain.
Untuk memantau kegiatan anggota kelompok dan pembagian tugas, setiap kelompok membuat jurnal kelompok. Jurnal kelompok berisi tentang tanggal tugas, bentuk tugas, siswa yang bertanggung jawab menyelesaikan tugas, tanggal penyelesaian tugas serta tanda tangan guru. Jurnal kelompok harus diisi dengan tertib dan diperiksa oleh guru setiap minggu.
Beberapa kegiatan belajar kelompok dapat dijabarkan dalam empat metode sebagai berikut:
Metode STAD (Student Teams Achievement Divisions). Guru memberikan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu, kemudian anggota kelompok diberi tugas lembar kerja akademik. Lembar tugas tersebut diselesikan oleh masing-masing kelompok dengan cara bekerja sama, saling membantu, ataupun sesuai dengan aturan masing-masing kelompok.
Metode Jigsaw. Bahan akademik disajikan kepada siswa dalam bentuk teks. Setiap anggota kelompok berkewajiban mempelajari teks tersebut, siswa yang lebih mampu mengajarkan pemahamannya kepada siswa yang kurang paham, dalam pengertian lain teman sebagai “pengajar kedua” setelah teks dari guru.
Metode GI (Group Investigation). Metode ini melibatkan siswa sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Metode ini menuntut siswa yang memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun keterampilan proses kelompok. Hal yang perlu dilakukan oleh guru dan siswa dalam metode ini adalah: seleksi topik, merencanakan kerjasama, implementasi, analisis sintesis, penyajian hasil akhir, dan evaluasi.
Metode Struktural. Metode ini menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola-pola interaksi siswa. Ada struktur yang memiliki tujuan umum (goal) untuk meningkatkan penguasaan isi materi akademik dan ada struktur yang tujuannya untuk mengajarkan keterampilan sosial. Dua struktur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Think-Pair-Share
Metode ini memberikan siswa waktu untuk berpikir dan merespon serta saling membantu satu sama lain. Ada tiga langkah penerapan metode ini, yaitu:
Langkah 1 – Berpikir (Think): Guru mengajukan pertanyaan atau isu yang terkait dengan pelajaran dan siswa diberi waktu satu menit untuk berpikir sendiri mengenai jawaban atas isu tersebut.
Langkah 2 – Berpasangan (Pairing): Selanjutnya guru meminta kepada siswa untuk berpasangan dan mendiskusikan mengenai apa yang telah dipikirkan. Interaksi selama periode ini dapat menghasilksan jawaban bersama jika suatu pertanyaan telah diajukan atau penyampaian ide bersama jika suatu isu khusus telah diidentifikasi.
Langkah 3 – Berbagi (Sharing): Pada langkah akhir ini guru meminta pasangan-pasangan tersebut untuk berbagi atau bekerja sama dengan kelas secara keseluruhan mengenai apa yang telah mereka bicarakan. Pada langkah ini akan menjadi efektif jika guru berkeliling kelas dari pasangan satu ke pasangan yang lain, sehingga seperempat atau setengah dari pasangan-pasangan tersebut memperoleh kesempatan untuk melapor.
Numbered Head Together.
Metode ini melibatkan para siswa dalam mengingat kembali (review) bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek atau memeriksa pemahaman mereka mengenai isi pelajaran tersebut. Ada empat langkah penerapan metode ini, yaitu:
Langkah 1 – Penomoran (Numbering): Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 3 sampai 5 siswa dan memberi mereka nomor sehingga tiap siswa dalam kelompok tersebut meiliki nomor berbeda.
Langkah 2 – Pengajuan Pertanyaan (Questioning): Guru mengajukan suatu pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat bervariasi, dari yang bersifat umum hingga spesifik.
Langkah 3 – Berpikir Bersama (Head Together): Para siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap orang mengetahui jawaban tersebut.
Langkah 4 – Pemberian Jawaban (Answering): Guru menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban untuk seluruh kelas.
Mungkin masih banyak cara lain yang bisa dipergunakan untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa. Satu hal yang harus selalu diingat, bahwa dengan membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan sosial (social skill) berarti guru telah membantu mereka dalam menemukan dirinya sendiri sehingga mampu berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Bagaimana menurut anda?

Tidak ada komentar: